Ketika didaulat memberikan pemikiran tentang revolusi mental, presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (65) justru mengingat dialog tiga remaja di kampung halamannya, Pacitan, Jawa Timur. Meskipun disebut sebagai kota, Pacitan dinilainya sebagai tempat yang kecil sekali, terisolasi, terbelakang, miskin, dan kurang air.
Kisah kecil ini diangkat Yudhoyono, kelahiran Pacitan, 9 September 1949, dalam pidatonya pada dialog publik "Revolusi Mental Sutan Takdir Alisjahbana, Menuju Manusia Indonesia Progresif" di Universitas Nasional, Jakarta, Sabtu (25/4). Saat itu, Yudhoyono ditemani istrinya, Ani Yudhoyono.
Lalu, berdialoglah dia dengan teman-temannya, sebutlah ada tiga remaja waktu itu. Dalam obrolan, kata suami Ani Yudhoyono, tercetuslah pertanyaan: mau enggak kita menjadi orang kaya? Untuk menjadi orang kaya, apa yang mau kita tempuh?
Seorang kawan, kata Yudhoyono, menjawab bahwa dirinya akan belajar supaya punya pengetahuan luas dan kerja keras. Pasti, dengan modal ini akan sukses dan kaya raya.
Remaja lainnya menjawab, dirinya akan belajar, tetapi yang penting tujuan kaya raya tercapai. Itu bisa ditempuh dengan perbuatan apa saja, mau baik atau tidak, bersikap benar atau tidak, itu urusan belakangan.
"Rupanya, remaja ketiga menyalahkan jawaban te-man-temannya. Remaja ketiga justru bilang, saya punya tetangga kaya raya. Enggak usah tinggi-tinggi mencari ilmu, cari saja dukun yang bisa bikin kaya. Tetangga saya punya tuyul,lho," ujar Yudhoyono.
Tak pelak, gelak tawa peserta dialog pun pecah. Lalu, dia pun menanyakan, kira-kira siapakah yang masih bisa rasional di era abad ke-21 ini? (OSA)
Sumber: Kompas, 30 April 2015 melalui print.kompas.com
